dwihut

Rendah Hati

Ilmu rendah hati sama sulitnya dengan ilmu sabar. Ilmu rendah hati dan ilmu sabar itu saling melengkapi satu sama lain. Sulit untuk bisa sabar tanpa kerendahan hati dan sulit untuk rendah hati tanpa kesabaran.

Sangking sulitnya menjadi rendah hati, ilmu ini harus dipelajari sedini mungkin. Sebelum kita punya banyak pengalaman, banyak pengetahuan dan banyak harta, yang seringnya justru bikin tinggi hati dan keras kepala.

Tapi memang ilmu rendah hati ini entah kapan lulusnya. Karena semakin tua, agaknya akan semakin sulit pelajarannya. Ketika muda, lebih mudah mendengar dan menerima kritik dari orang-orang yang lebih tua, dengan pengalaman yang memang sudah paten dan teruji. Kalau sudah terlanjur berumur, kita akan sensi mendengar kritik yang datangnya dari mereka-mereka yang masih bau kencur.

Mereka yang masih bau kencur bisa jadi memang tidak punya pengetahuan dan pengalaman yang lebih, terkadang yang disampaikan juga tidak lebih berbobot. Tapi ilmu rendah hati mengajarkan untuk tidak melulu merasa “lebih” dari orang lain. Lebih pintar. Lebih tahu. Lebih berada. Lebih penting. Lebih berpengaruh. Lebih mampu. Lebih kuat. Lebih berkuasa. Walaupun secara posisi/jabatan/umur, kita termasuk orang yang “lebih”, tapi ilmu rendah hati mengajarkan untuk tetap membuka telinga lebar-lebar dan membuka hati selapang-lapangnya menerima opini yang berbeda, menerima input dan kritik yang bahkan paling pedas sekalipun dan datang dari seseorang yang bukan siapa-siapa. Karena hal baik bisa datang dari siapa saja dalam bentuk yang seringnya tidak kita harapkan atau tidak kita duga.

Sejak ilmu rendah hati tidak lagi diajarkan di sekolah-sekolah dan di rumah-rumah, kita jadi gampang sekali sakit hati kalau ego dicolek alias dikritik. Dan jika kita sudah merasa “lebih”, maka otomatis kapasitas mendengarkan dan kemampuan memahami akan berkurang drastis. Yang rugi siapa? Yang rugi ya kita yang tidak mau latihan menjadi rendah hati, karena banyak pelajaran dan perbaikan diri yang dimulai dari: memiliki cukup kerendahan hati untuk mendengarkan.

Menulis topik ini bukan seakan-akan saya sudah lulus pelajaran ini, justru saya adalah mahasiswa abadi yang tidak lulus-lulus karena seringkali bolos pelajaran ini. Ketika bolos, saya sedang absen mendengarkan dan tidak mau memahami karena sedang merasa “lebih”.

Leave a comment